Indonesia Berduka, Membara & Terbakar — Tapi Kemana Hilangnya Keadilan?

papanmedia.com – Indonesia menghadapi gejolak luar biasa akhir-akhir ini. Protes menyebar, demo makin memanas, banyak kota diliputi konflik—bukan hanya fisik, tapi juga kepercayaan sosial yang terbakar. Yang jadi pertanyaan: di tengah kondisi “berduka, membara, bahkan terbakar” ini, ke mana menghilangnya keadilan yang dijanjikan? Mari kita telaah dari beberapa perspektif: sosial, politik, dan historis.

Gelombang Protes Menyebar — Rumah Terbakar, Gereja Dibakar, Harapan Pudar

Sejak akhir Agustus 2025, aksi protes menuntut transparansi dan penolakan tunjangan besar DPR memicu kerusuhan nyata. Demonstrasi yang awalnya damai berubah jadi kekerasan, dengan tiga orang tewas saat kerusuhan di Makassar. Bangunan parlemen daerah menjadi sasaran dan dibakar, simbol amarah publik yang menyala—tuntutannya: keadilan, bukan hanya selebrasi retorika.

Selain Makassar, insiden juga terjadi di Bandung, Surabaya, Bali, dan Cirebon. Polisi melakukan penangkapan massal, yang dikecam sebagai tindakan represif dan mencoreng ruang demokrasi.

Angka korban terus merangkak, dengan beberapa media melaporkan setidaknya enam hingga tujuh orang meninggal serta puluhan hilang atau terluka. Kerusakan materi pun tidak bisa dianggap remeh. Ini bukan sekadar protes—melainkan gejolak sosial multi-dimensi yang menyala dari ketidakadilan sistemik.

Menolak Konsumsi Politik — Tuntutan “17+8 Tuntutan Rakyat”

Dalam respons keras terhadap krisis ini, sejumlah elemen masyarakat mengajukan tuntutan konkret. Salah satu yang mencuat adalah gerakan “17+8 Tuntutan Rakyat.” Isi tuntutannya mencakup tuntutan mendesak seperti adili aparat represif, kembalikan anggaran rakyat, hingga reformasi struktural lewat agenda jangka panjang seperti perbaikan DPR, perpajakan adil, dan penguatan KPK.

Gerakan ini bukan cuma simbol politik—tapi cerminan kegerahan kolektif yang menjurus pada keinginan keadilan sosial dan transparansi kelembagaan. Ketika korban jiwa dan rusaknya fasilitas publik terjadi, rakyat tidak cukup menuntut minta maaf—mereka butuh reformasi nyata.

Pemerintah Respon, Tapi Arti Reformasi Masih Buram

Pemerintah merespons dengan mencabut tunjangan DPR, melarang perjalanan dinas ke luar negeri, serta kerahkan militer. Tapi langkah ini dianggap hik down daripada healing up—tanpa kebijakan struktural yang menyentuh fundamental ketimpangan.

Presiden Prabowo dalam posisi sulit: di satu sisi menghadapi desakan moral dan legitimasi dari rakyat; di sisi lain menghambat pakaian demokrasi karena ketakutan atas eskalasi konflik. Banyak pihak menilai, jawaban atas pertanyaan soal “keadilan” tidak bisa hanya jawaban politis singkat—tapi rumusan solusi konstitusional dan ekonomi yang konkret.

Penutup — Agama, Politik, dan Rasa Keadilan yang Hilang

Indonesia hari ini sedang berduka, membara, bahkan terbakar—bukan sekadar fisik, tapi secara simbolik. Ketidakadilan yang lama terpendam menuntut ekspresi simbolik melalui protes besar-besaran. Tapi esensi yang dibutuhkan bukan hanya konflik—melainkan dialog “keadilan konkret dan reformasi struktural”.

Semoga lahir era baru: bukan hanya gema api demo yang padam, tapi kehadiran keadilan nyata yang meredam keresahan jiwa bangsa.