Harga Beras

Lonjakan Harga Beras Picu Kekhawatiran Publik

papanmedia.com – Awal September 2025 ditandai dengan lonjakan tajam harga beras di berbagai pasar tradisional dan ritel modern. Data Badan Pangan Nasional mencatat harga beras medium naik dari Rp12.000 menjadi Rp15.500 per kilogram dalam waktu kurang dari satu bulan. Sementara beras premium menembus Rp18.000 per kilogram, rekor tertinggi sepanjang lima tahun terakhir.

Kenaikan ini langsung memicu kepanikan masyarakat karena beras merupakan makanan pokok utama lebih dari 95% penduduk Indonesia. Antrian panjang terlihat di pasar saat masyarakat memborong stok beras, khawatir harga akan terus naik atau pasokan menipis.

Media sosial dipenuhi keluhan warga soal harga yang melonjak, sementara pedagang mengaku stok dari distributor mulai seret. Banyak warung kecil kesulitan membeli dalam jumlah besar karena harga grosir naik tajam, membuat rantai distribusi pangan terganggu.


Penyebab Utama: Gagal Panen dan Biaya Produksi Melonjak

Pemerintah menjelaskan ada beberapa faktor yang menyebabkan lonjakan harga beras kali ini. Pertama, terjadi penurunan produksi padi nasional hingga 12% akibat kekeringan panjang yang melanda beberapa sentra produksi seperti Jawa Tengah, NTB, dan Sulawesi Selatan sejak Juni 2025.

Perubahan iklim yang ekstrem menyebabkan musim kemarau datang lebih cepat dan berlangsung lebih lama dari prediksi, membuat banyak petani gagal panen atau panen jauh di bawah target. Kekurangan pasokan gabah membuat harga di tingkat petani melambung, yang kemudian diteruskan ke konsumen.

Kedua, biaya produksi pertanian melonjak akibat kenaikan harga pupuk, BBM, dan tarif angkutan pasca kenaikan harga solar industri. Petani dan penggilingan terpaksa menaikkan harga jual agar tidak merugi. Kondisi ini diperparah dengan keterlambatan penyaluran pupuk bersubsidi yang membuat sebagian petani beralih ke pupuk nonsubsidi yang lebih mahal.


Respons Pemerintah: Operasi Pasar dan Impor Darurat

Melihat situasi yang mengkhawatirkan, pemerintah mengambil serangkaian langkah darurat untuk menstabilkan harga dan menjamin pasokan. Badan Pangan Nasional bersama Bulog menggelar operasi pasar di 300 kota besar dan kecil, menjual beras medium dengan harga Rp10.900 per kilogram.

Selain itu, pemerintah membuka keran impor darurat sebanyak 1 juta ton beras dari Vietnam, Thailand, dan India yang dijadwalkan tiba Oktober 2025. Langkah ini sempat menuai pro-kontra, namun pemerintah menegaskan bahwa impor hanya bersifat sementara untuk menutup kekurangan stok nasional dan menjaga stabilitas harga.

Kementerian Pertanian juga mempercepat program tanam gadu (musim tanam ketiga) dengan memberikan insentif benih, pupuk, dan asuransi gagal panen. Diharapkan produksi bisa pulih pada Desember 2025 agar harga kembali normal sebelum akhir tahun.


Dampak Sosial dan Ekonomi Bagi Masyarakat Kecil

Lonjakan harga beras berdampak berat pada masyarakat berpenghasilan rendah yang menghabiskan lebih dari 40% pengeluarannya untuk makanan pokok. Banyak keluarga mulai mengurangi konsumsi lauk atau mengganti beras dengan sumber karbohidrat lain seperti jagung atau singkong.

Pedagang warung makan dan UMKM kuliner juga terpukul karena biaya bahan baku meningkat drastis. Beberapa terpaksa mengecilkan porsi atau menaikkan harga jual, yang pada akhirnya menurunkan minat pembeli.

Kenaikan harga beras juga memicu tekanan inflasi nasional. Badan Pusat Statistik mencatat inflasi pangan bulanan mencapai 3,2% pada Agustus 2025, tertinggi sejak 2020. Bank Indonesia memperingatkan jika kondisi ini tidak segera dikendalikan, daya beli masyarakat bisa melemah dan pertumbuhan ekonomi terhambat.


Desakan Reformasi Ketahanan Pangan

Krisis harga beras 2025 kembali membuka perdebatan lama soal ketahanan pangan nasional. Banyak pengamat menilai Indonesia terlalu bergantung pada produksi padi di Pulau Jawa yang rentan gangguan iklim. Diversifikasi produksi ke wilayah lain dinilai masih lamban karena infrastruktur irigasi, logistik, dan akses teknologi pertanian yang tertinggal.

Selain itu, produktivitas petani kecil masih rendah karena minim mekanisasi dan akses modal. Banyak lahan sawah juga terus beralih fungsi menjadi kawasan industri dan perumahan. Akibatnya, peningkatan permintaan pangan tidak diimbangi kenaikan produksi yang memadai.

Sejumlah akademisi mendorong pemerintah mempercepat modernisasi pertanian, memperkuat cadangan beras pemerintah, serta mengembangkan sistem asuransi pertanian agar petani tidak bangkrut saat gagal panen. Tanpa reformasi struktural, krisis harga beras diprediksi akan terus berulang setiap beberapa tahun.


Penutup: Krisis yang Harus Jadi Pelajaran

Menjaga Stabilitas Pangan

Harga Beras 2025 menjadi pengingat bahwa pangan bukan komoditas biasa, melainkan kebutuhan dasar yang menentukan stabilitas sosial dan ekonomi. Krisis ini harus jadi momentum untuk memperbaiki sistem pangan dari hulu ke hilir.

Menuju Kedaulatan Pangan Nasional

Jika pemerintah berhasil menata ulang produksi, distribusi, dan cadangan beras secara berkelanjutan, Indonesia bisa lepas dari siklus krisis harga yang merugikan rakyat kecil. Kedaulatan pangan harus jadi prioritas nasional, bukan sekadar jargon politik.


📚 Referensi